Minggu, 10 Mei 2015

Kecerdasan ilmuwan muslim diakui dunia

 
 
Lima belas ribu prajurit bersiaga. Berseragam lengkap. Sudah siaga pula tombak, panah dan tameng melindung tubuh. Kuda-kuda itu masih menunggu kusir menghela ke titik pertempuran. Pada musim panas 1.257 itu, Baghdad seperti menjadi “gerbang kematian”.

Ribuan serdadu Mongol yang bersiaga di luar kota sebentar lagi menyerbu. Dengan kekuatan penuh. Dengan target jelas. Bukan saja membunuh, tapi juga menyudahi peradaban. Menamatkan sejarah.

Baghdad yang berdiri di tepi barat Sungai Tigris itu, saat itu menjadi pusat peradaban Islam. Jalur transportasi sungai Tigris memudahkan kota itu menjadi pusat perdagangan. Para pedagang dari Tiongkok, India dan Afrika Timur bertemu di situ.

Maju dalam perdagangan, Baghdad juga menjelma menjadi kota intelektual. Banyak karya besar Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Arab di sini, rumah sakit banyak didirikan dan juga pusat-pusat observatorium. Baghdad menjadi salah satu kota yang paling kosmopolit di dunia. Berbagai kerajaan nafsu merebut.

Juga kerajaan Mongol, yang hari itu pasukannya bersiaga di luar kota itu. Pada masa itu, kekejaman pasukan Mongol sohor ke seluruh bumi. Keahlian berkuda dan kecermatan memanah merindingkan musuh. Sudah banyak kerajaan yang takluk dan ditaruh “di ketiak” mereka.

Hulagu Khan, saudara dari Gengis Khan, ditunjuk menjadi pemimpin pasukan itu. Ribuan serdadu pasukan Mongol selangkah lagi merangsek ke gerbang Baghdad. Mereka membombardir tembok-tembok kota selama dua pekan. Berusaha menghadang sekuat tenaga. 13 Februari 1.258 pertahanan kota jebol.

Pasukan Mongol merangsek masuk. Sepekan penuh Baghdad porakporanda. Bangunan perlambang era kejayaan hancur. Masjid, rumah sakit, istana megah sudah banyak yang jadi abu. Banyak institusi pendidikan yang dihancurkan. Era kemajuan peradaban Islam juga ikut terkubur.

Sejumlah perpustakaan sebagai sumber pengetahuan hilang tak bersisa. Ribuan buku dan lembaran kertas buah pikiran ilmuwan muslim dilempar ke Sungai Tigris. Saking banyaknya buku yang terbenam ke sana, air sungai Tigris digambarkan menjadi hitam pekat karena lunturan tinta-tinta dari ribuan buku.

Kehancuran perpustakaan Baghdad seolah menjadi genta kematian bagi pencapaian tertinggi keilmuan dunia Islam. Buku-buku dari karya ilmuwan ternama seperti Ibnu Sina, Musa al-Khawarizmi, al-Fazari dan Al-Farghani, hingga Ibnu Rusyid seperti menemui ajalnya, hilang dari khazanah pengetahuan dunia.

Masa Keemasan Islam

Jauh sebelum ribuan serdadu Mongol  itu, Baghdad adalah kota pengetahuan yang pada masa itu menggeser peran Eropa. Tongkat estafet pengetahuan dunia, dari nama-nama besar pemikir Eropa seperti Aristoteles, Phytagoras, dan filsuf lain, seperti  dilanjutkan para ilmuwan muslim di negeri Arab. Bahkan dikemudian hari, banyak karya besar ilmuwan muslim yang menjadi kiblat pemikir besar Eropa dan negara-negara lain di dunia.

Siapa yang tak kenal dengan Muhammad bin Musa al-Khawarizmi? Metematikawan muslim ini menjadi Bapaknya aljabar dan algoritma.  Khawarizmi menangkap kekurangan sistem penomoran Yunani yang tidak mampu menerjermahkan matematika di level yang lebih maju. Khawarizmi kemudian menelurkan sistem angka 0-9 yang lazim disebut aljabar.

Tanpa  karya Khawarizmi itu, manusia zaman modern mungkin takkan pernah mengenal komputer ataupun perangkat canggih lainnya yang, banyak menggunakan prinsip algoritma. Di bidang kedokteran, tersebutlah nama Ibnu Sina. Avicena, itulah sebutan dari bangsa Eropa untuk sang ahli muslim ini. Karya tulisnya telah menjadi rujukan dunia kesehatan bangsa Eropa hingga abad ke-18.

Lewat karyanya, yang telah diterjemahkan menjadi The Canon of Medicine, Ibnu Sina memperkenalkan metode karantina untuk membatasi penyebaran penyakit. Dia juga yang memulai metode penelitian medis, penanganan klinis, neuropsychiatry, analisis faktor risiko, hingga menelurkan hipotesa keberadaan mikroorganisme.

Ibnu Sina juga mengadopsi teori yang menyebutkan penyakit bisa disebarkan lewat udara. Bukan itu saja,  persoalan higienisitas, pengobatan sederhana dan kompleks, hingga teori tentang fungsi dari bagian tubuh juga dilahirkan Ibnu Sina.

Selain ilmu-ilmu berat, masa keemasan dunia Islam juga telah mampu menghasilkan penemuan-penemuan besar. Meski baru sebatas teori, buah pemikiran para teknokrat muslim di abad pertengahan ini kelak menjadi pijakan bagi ilmuwan atau penemu-penemu di era berikutnya.

Sebelum dunia penerbangan mengenal nama Wright Bersaudara sebagai penemu pesawat terbang, dunia muslim sebetulnya telah mempunyai seorang astronom, sekaligus musisi dan engineer bernama Abbas Ibn Firnas. Pria inilah yang pertama kali berpikir sekaligus mencoba merancang mesin yang bisa terbang.

Alkisah pada 852, Abbas mencoba lompat dari menara masjid di Kordoba menggunakan jubah longgar kaku yang dirangkai pada sebuah kayu. Mimpinya bisa terbang bak seekor burung. Sayang upayanya tak berhasil.

Jubah yang dipakainya pelan-pelan jatuh dan menciptakan apa yang mungkin disebut parasut pada zaman modern. Abbas pun tersungkur dan mengalami cedera ringan. Namun kegagalan ini tak menyurutkan semangat Abbas.

Di usia yang tak lagi muda (70 tahun), Abbas mencoba terbang lagi. Kali ini menggunakan bahan yang sudah disempurnakan berupa kain sutra dan bulu elang. Dari ketinggian sebuah gunung, Abbas kembali melompat. Kali ini, Abbas sukses mencapai ketinggian signifikan dan mampu bertahan sekitar 10 menit sebelum akhirnya mendarat dengan keras.

Keberhasilan yang tertunda ini ternoda karena Abbas lupa menciptakan perangkat berupa ekor untuk membantunya mendarat.

Meski tak sampai menciptakan sebuah pesawat terbang, Abbas telah menjadi ilmuwan muslim yang dikagumi dunia. Namanya diabadikan di Bandara Internasional Baghdad. Bahkan para astronot kemudian mengabadikan namanya dengan nama sebuah kawah di Bulan.

Tiga ilmuwan besar muslim ini hanyalah sebagian kecil dari nama-nama pemikir, teknokrat, bahkan filsuf yang lahir di era kejayaan Islam. Masih ada nama-nama seperti al-Fazari dan al-Farghani yang termasyhur sebagai ahli astronomi di abad ke 8 Masehi. Belum lagi Abu Ali al-Hasan ibnu al-Haytam dengan teori optika (abad 9 M), Jabir ibnu Hayyan dan Abu Bakar Zakaria ar-Razi sebagai tokoh kimia yang disegani (abad  9 M), Abu Raihan Muhammad al-Baituni sebagai ahli fisika (abad 9 M).

Ada juga nama Abu al-Hasan Ali Mas’ud sebagai tokoh geografi (abad 10 M) dan Ibnu Rusyd sebagai seorang filsuf ternama dan terkenal di dunia filsafat Barat dengan Averroisme.

Semua ilmuwan besar Islam ini telah mengisi kekosongan pengetahuan dunia lantaran saat itu Eropa saat itu memasuki masa kegelapan.

Einstein dan Steve Hawking dari Dunia Muslim

Sesudah kehancuran Baghdad itu, dunia keilmuan Islam memang sempat terbenam. Tapi di kemudian hari bermunculan kaum cerdik pandai dalam kalangan Muslim. Beberapa windu belakangan, lahir sejumlah ilmuwan baru Islam yang berperan besar dalam dunia pengetauan. Dan mereka mendapat pengakuan dunia.

Sebut saja nama Nima Arkani-Hamed, anak laki-laki satu-satunya dari keluarga Jafar Arkani-Hamed. Pria yang lahir di Houston, 5 April 1972 ini muncul sebagai pesaing manusia paling jenius di dunia Albert Einstein. Julukan Einstein dari Negara muslim makin melekat setelah Nima duduk di Institute of Advanced Studied, sebuah posisi yang pernah ditempati Albert Einstein.

Kepopuleran Nima di dunia pengetahuan mulai berkibar setelah  imigran dari Iran ini melansir Teori Dawai. Lewat makalah bertajuk “Electroweak symmetry breaking from dimensional deconstruction”, Nima menjelaskan bagaimana dunia dapat berjalan seperti yang diungkapkan dalam teori relativitas umum milik Einstein.

Bersama dua mitranya di Berkeley, Savas Dimopoulos dan Gia Dvali, Nima melansir sebuah hipotesis baru bahwa kelemahan gravitasi terjadi karena terdapat 'dimensi tambahan yang besar' yang bisa sebesar satu milimeter.

Nima menguraikan bahwa dimensi bisa sampai tujuh, bukan empat seperti dalam fisika klasik. Dimensi-dimensi sebesar itu bisa lolos dari deteksi karena segala yang kita tahu –kecuali gravitasi— ditetapkan dalam tiga dimensi ruang dan satu dimensi waktu.

Bukan cuma Nima yang  tengah jadi sorotan para ilmuwan global. Dunia muslim kini juga telah mampu melahirkan sosok manusia terpintar seperti Steve Hawking. Dialah Cumrun Vafa, pria yang memberikan kecintaan besar pada negeri asalnya, Iran, itu disebut sebagai Steve Hawking dari dunia Muslim.

Sikap kritis dan kecerdasan Vafa sudah lama bersemayam pada otaknya. Semenjak belia Vafa sudah mulai mempertanyakan hal yang tak pernah dipikirkan anak seusianya. Misalnya, “Mengapa satelit Bumi itu bisa terus mengambang di angkasa, tak pernah jatuh ke tanah yang dia pijak.”

Kelak, sejumlah pertanyaan yang mengusik semenjak Sekolah Dasar (SD) itu jadi bahan penelitian. Penelitian itulah  yang mengantarkannya sebagai fisikawan kelas dunia.

Karena ilmunya, enam tahun silam Vafa mendapat anugerah Dirac Medal. Penghargaan bergengsi kaum fisikawan dari lembaga riset Abdus Salam International Centre for Theoretical Physics (ICTP). Medali tahunan itu didedikasikan untuk menghormati Paul Adrien Maurice Dirac, pencetus teori kuantum mekanik dan kuantum elektrodinamik.

Ganjaran itu diberikan karena Vafa dianggap memberi terobosan penting dalam studi fisika matematis String Theory (teori dawai) dan objek astrofisika Black Hole atau lubang hitam. Bersama kedua rekannya dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, Vafa berhasil menguak beberapa misteri lubang hitam, khususnya entropi Bekenstein-Hawking. Itu semua dilakukan dengan teori dawai dan geometri.

Bukan kaum pria saja, dunia muslim masa kini juga mampu melahirkan ilmuwan wanita di kancah pengetahuan global. Dialah Maryam Mirzakhani, yang berhasil menyabet penghargaan bergengsi bidang matematika, Fields Medal, yang bisa disetarakan dengan Nobel.

Maryam juga mencatat sejarah sebagai perempuan pertama penerima penghargaan tingkat dunia ini. Sejak penghargaan ini diberikan pertama kalinya, 52 ilmuwan dunia hanya berasal dari kalangan Adam.

Wanita dari dunia muslim ini berhasil mempelajari geometri modulus ruang, sebuah geometri dan aljabar kompleks. Rumus yang ditelurkan perempuan berusia 37 tahun ini, dianggap sebagai terobosan baru dalam ilmu pengetahuan   dunia.

Para imuwan yang ditulis di sini, hanyalah beberapa dari ilmuwan Muslim yang gemilang namanya dalam dunia pengetahuan. Meski gudang pengetahuan Muslim dihancurkan para serdadu Mongol  pada 1.257 itu, Islam tidak pernah berhenti mencetak para ilmuwan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar