PERBEDAAN PONDOK SALAFIAH DAN PONDOK MODERN :
a. Salafiyah
Pesantren salafi, yaitu pesantren yang tetap mempertahankan pelajarannya dengan kitab-kitab klasik, dan tanpa diberikan pengetahuan umum. Model pengajarannya pun sebagaimana yang lazim diterapkan dalam pesantren salaf, yaitu sorogan dan weton. Weton adalah pengajian yang inisiatifnya berasal dari kyai sendiri, baik dalam menentukan tempat, waktu, maupun lebih-lebih kitabnya. Sedangkan sorogan adalah pengajian yang merupakan permintaan dari seseorang atau beberapa orang santri kepada kyainya untuk diajarkan kitab-kitab tertentu. Sedangkan istilah salaf ini bagi kalangan pesantren mengacu kepada pengertian “pesantren tradisional” yang justru sarat dengan pandangan dunia dan praktek islam sebagai warisan sejarah, khususnya dalam bidang syari’ah dan tasawwuf.
- Pengajaran Kitab-kitab Klasik
Sejak tumbuhnya pesantren, pengajaran kitab-kitab klasik diberikan sebagai upaya untuk meneruskan tujuan utama pesantren yaitu mendidik calon-calon ulama yang setia terhadap faham Islam tradisional. Karena itu kitab-kitab Islam klasik merupakan bagian integral dari nilai dan faham pesantren yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Penyebutan kitab-kitab Islam klasik di dunia pesantren lebih populer dengan sebutan “kitab kuning”, tetapi asal usul istilah ini belum diketahui secara pasti. Mungkin penyebutan istilah tersebut guna membatasi dengan tahun karangan atau disebabkan warna kertas dari kitab tersebut berwarna kuning, tetapi argumentasi ini kurang tepat sebab pada saat ini kitab-kitab Islam klasik sudah banyak dicetak dengan kertas putih
Pengajaran kitab-kitab klasik oleh pengasuh pondok (Kyai) atau ustadz biasanya dengan menggunakan sistem sorogan, wetonan, dan bandongan. Adapun kitab-kitab Islam klasik yang diajarkan di pesantren menurut Zamakhsyari Dhofir dapat digolongkan ke dalam 8 kelompok, yaitu: (1) Nahwu (syntax) dan Sharaf (morfologi), (2) Fiqih (hukum), (3) Ushul Fiqh (yurispundensi), (4) Hadits, (5) Tafsir, (6) Tauhid (theologi), (7) Tasawuf dan Etika, (8) Cabang-cabang lain seperti Tarikh (sejarah) dan Balaghah”.
Kitab-kitab klasik adalah kepustakaan dan pegangan para Kyai di pesantren. Keberadaannya tidaklah dapat dipisahkan dengan Kyai di pesantren. Kitab-kitab Islam klasik merupakan modifikasi nilai-nilai ajaran Islam, sedangkan Kyai merupakan personifikasi dari nilai-nilai itu. Di sisi lain keharusan Kyai di samping tumbuh disebabkan kekuatan-kekuatan mistik yang juga karena kemampuannya menguasai kitab-kitab Islam klasik.
Sehubungan dengan hal ini, Moh. Hasyim Munif mengatakan bahwa: “Ajaran-ajaran yang terkandung dalam kitab kuning tetap merupakan pedoman hidup dan kehidupan yang sah dan relevan. Sah artinya ajaran itu diyakini bersumber pada kitab Allah Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah (Al-Hadits), dan relevan artinya ajaran-ajaran itu masih tetap cocok dan berguna kini atau nanti”.
Dengan demikian, pengajaran kitab-kitab Islam klasik merupakan hal utama di pesantren guna mencetak alumnus yang menguasai pengetahuan tentang Islam bahkan diharapkan diantaranya dapat menjadi Kyai.
- Santri
Santri merupakan sebutan bagi para siswa yang belajar mendalami agama di pesantren. Biasanya para santri ini tinggal di pondok atau asrama pesantren yang telah disediakan, namun ada pula santri yang tidak tinggal di tempat yang telah disediakan tersebut yang biasa disebut dengan santri kalong.
Menurut Zamakhsyari Dhofir berpendapat bahwa: “Santri yaitu murid-murid yang tinggal di dalam pesantren untuk mengikuti pelajaran kitab-kitab kuning atau kitab-kitab Islam klasik yang pada umumnya terdiri dari dua kelompok santri yaitu:
· Santri mukim yaitu santri atau murid-murid yang berasal dari jauh yang tinggal atau menetap di lingkungan pesantren.
· Santri kalong yaitu santri yang berasal dari desa-desa sekitar pesantren yang mereka tidak menetap di lingkungan komplek peantren tetapi setelah mengikuti pelajaran mereka pulang.
Dalam menjalani kehidupan di pesantren, pada umumnya mereka mengurus sendiri keperluan sehari-hari dan mendapat fasilitas yang sama antara santri yang satu dengan lainnya. Santri diwajibkan mentaati peraturan yang ditetapkan di dalam pesantren tersebut dan apabila ada pelanggaran akan dikenakan sanksi sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan.
- Kyai
Istilah kyai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa. Kata Kyai mempunyai makna yang agung, keramat, dan dituahkan. Selain gelar Kyai diberikan kepada seorang laki-laki yang lanjut usia, arif, dan dihormati di Jawa. Gelar Kyai juga diberikan untuk benda-benda yang keramat dan dituahkan, seperti keris dan tombak. Namun demikian pengertian paling luas di Indonesia, sebutan Kyai dimaksudkan untuk para pendiri dan pemimpin pesantren, yang sebagai muslim terhormat telah membaktikan hidupnya untuk Allah SWT serta menyebarluaskan dan memperdalam ajaran-ajaran serta pandangan Islam melalui pendidikan.
Kyai berkedudukan sebagai tokoh sentral dalam tata kehidupan pesantren, sekaligus sebagai pemimpin pesantren. Dalam kedudukan ini nilai kepesantrenannya banyak tergantung pada kepribadian Kyai sebagai suri tauladan dan sekaligus pemegang kebijaksanaan mutlak dalam tata nilai pesantren. Dalam hal ini M. Habib Chirzin mengatakan bahwa peran kyai sangat besar sekali fungsinya dalam bidang penanganan iman, bimbingan amaliyah, penyebaran dan pewarisan ilmu, pembinaan akhlak, pendidikan beramal dan memimpin serta menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh santri dan masyarakat. Dan dalam hal pemikiran kyai lebih banyak berupa terbentuknya pola berfikir, sikap, jiwa serta orientasi tertentu untuk memimpin sesuai dengan latar belakang kepribadian kyai.
Peran Kyai di dalam Pondok Pesantren
Dalam budaya pondok pesantren, seorang kyai memiliki berbagai macam peran, termasuk sebagai pengasuh pondok, guru dan pembimbing bagi para santri serta ayah dalam keluarganya sendiri yang juga menetap di pondok. Tugasnya sebagai pengasuh pondok termasuk mencari dana bagi pondok, menghadapi santri baru dan mengerjakan urusan-urusan lembaga pesantren Darur Ridwan. Juga sebagai pengasuh, K.H. Aslam berjuang untuk perkembangan dan kemajuan pondok pesantrennya biar tidak ditinggalkan oleh kemajuan dalam masyarakat umum. Misalnya, pada saat ini, K.H. Aslamsedang bekerja untuk memperkenalkan program baru dalam pondok bagi santri yang tertarik kepada belajar komputer. K.H. Aslam memang mengambil sikap yang lapang dalam menyelenggarakan modernisasi pondok pesantrennya. Pendapat ini pula ditarik oleh Dhofier (1985:174), yang pada umumnya sangat positif mengenai keterampilan para kyai dalam “memperbarui sistem pendidikan pesantren tanpa meninggalkan aspek-aspek positif daripada sistem pendidikan Islam tradisoinal.”
Selain dari perannya sebagai pengasuh pondok, peran kyai yang bisa disebut paling penting adalah sebagai guru dan pembimbing bagi para santri. Menurut salah satu santri, “peran kyai dalam pondok pesantran adalah untuk memberi motivasi kepada santrinya dan membentuk putri-putri untuk menjadi wanita yang sholehah dalam bidang keluarga dan bangsa.”
Hubungan di antara kyai dan para santri merupakan bagian yang penting sekali dalam peran kyai sebagai guru dan pembimbing. Keadaan dan suasana hubungan kyai dan santri memang berbeda di antara satu pondok dengan pondok lain karena hubungan tersebut sangat tergantung pada sikap kyai. Kalau belum mengalami sendiri budaya pondok pesantren, memang gampang untuk menarik kesimpulan bahwa walaupun lingkungan pondok sangat terbatas sehingga penghuni pondok selalu bertemu dan bergaul, oleh karena pesantren membentuk lembaga pendidikan resmi yang membina kehormatan tinggi untuk ustad, ustadah dan kyainya, hubungan di antara para guru tersebut dan muridnya akan sangat formal dan tidak begitu akrab. Namun, kenyataan yang ada di lapangan berbeda.
b. Pondok pesantren modern (khalaf)
Seiring dinamika zaman, banyak pesantren yang sistem pendidikan asalnya salaf berubah total menjadi pesantren modern. Ciri khas pesantren modern adalah prioritas pendidikan pada sistem sekolah formal dan penekanan bahasa Arab modern (lebih spesifik pada speaking/muhawarah). Sistem pengajian kitab kuning, baik pengajian sorogan wetonan maupun madrasah diniyah, ditinggalkan sama sekali. Atau minimal kalau ada, tidak wajib diikuti. Walaupun demikian, secara kultural tetap mempertahankan ke-NU-annya seperti tahlilan, qunut, yasinan, dll.
Pondok pesantren Modern memiliki konotasi yang bermacam-macam. Tidak ada definisi dan kriteria pasti tentang ponpes seperti apa yang memenuhi atau patut disebut dengan pesantren 'modern'. Namun demikian, beberapa unsur yang menjadi ciri khas pondok pesantren modern adalah sebagai berikut:
1. Penekanan pada bahasa Arab percakapan
2. Memakai buku-buku literatur bahasa Arab kontemporer (bukan klasik/kitab kuning)
3. Memiliki sekolah formal di bawah kurikulum Diknas dan/atau Kemenag
4. Tidak lagi memakai sistem pengajian tradisional seperti sorogan, wetonan, dan bandongan.
Kriteria-kriteria di atas belum tentu terpenuhi semua pada sebuah pesantren yang mengklaim modern. Pondok modern Gontor, inventor dari istilah pondok modern, umpamanya, yang ciri modern-nya terletak pada penggunaan bahasa Arab kontemporer (percakapan) secara aktif dan cara berpakaian yang meniru Barat. Tapi, tidak memiliki sekolah formal yang kurikulumnya diakui pemerintah.
Pada era 1970-an, pesantren mengalami perubahan yang sangat signifikan yang tampak dalam beberapa hal. Pertama, peningkatan secara kuantitas terhadap jumlah pesantren. Tercatat di Departemen Agama, bahwa pada tahun 1977, ada 4.195 pesantren dengan jumlah santri sebanyak 667.384 orang. Jumlah tersebut meningkat menjadi 5.661 pesantren dengan 938.397 orang santri pada tahun 1981. kemudian jumlah tersebut menjadi 15.900 pesantren dengan jumlah santri sebanyak 5,9 juta orang pada tahun 1985. Kedua, menyangkut penyelenggaraan pendidikan. Perkembangan bentuk-bentuk pendidikan di pesantren tersebut diklasifikasikan menjadi empat, yaitu:
Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal dengan menerapkan kurikulum nasional, baik yang hanya memiliki sekolah keagamaan maupun yang juga memiliki sekolah umum.
Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan agama dalam bentuk Madrasah Diniyah
Pesantren yang hanya sekedar manjadi tempat pengajian
Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk Madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan umum meski tidak menerapkan kurikulum nasional.
Perkembangan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa beberapa pesantren ada yang tetap berjalan meneruskan segala tradisi yang diwarisinya secara turun temurun, tanpa ada perubahan dan improvisasi yang berarti, kecuali sekedar bertahan. Namun ada juga pesantren yang mencoba mencari jalan sendiri, dengan harapan mendapatkan hasil yang lebih baik dalam waktu singkat. Pesantren semacam ini adalah pesantren yang kurikulumnya berdasarkan pemikiran akan kebutuhan santri dan masyarakat sekitarnya.
Meskipun demikian, semua perubahan itu, sama sekali tidak mencabut pesantren dari akar kulturnya. Secara umum pesantren tetap memiliki fungsi-fungsi sebagai: (1) Lembaga pendidikan yang melakukan transfer ilmu-ilmu pengetahuan agama (tafaqquh fi addin) dan nilai-nilai islam (Islamic values). (2) Lembaga keagamaan yang melakukan kontrol sosial (social control). (3) Lembaga keagamaan yang melakukan rekayasa sosial (Social engineering). Perbedaan-perbedaan tipe pesantren di atas hanya berpengaruh pada bentuk aktualisasi peran-peran ini.
- Model Modernisasi Pendidikan Pesantren
Modernisasi atau inovasi pendidikan pesantren dapat diartikan sebagai upaya untuk memecahkan masalah pendidikan pesantren. Atau dengan kata lain, inovasi pendidikan pesantren adalah suatu ide, barang, metode yang dirasakan atau diamati sebagai hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang , baik berupa hasil penemuan (invention) maupun discovery, yang digunakan untuk mencapai tujuan atau memecahkan masalah pendidikan pesantren.
Miles mencontohkan inovasi (modernisasi) pendidikan adalah sebagai berikut
1. Bidang personalia. Pendidikan yang merupakan bagian dari sistem sosial, tentu menentukan personel sebagai komponen system.
2. Fasilitas fisik.
3. Pengaturan waktu.
Menurut Nur Cholis Majid, yang paling penting untuk direvisi adalah kurikulum pesantren yang biasanya mengalami penyempitan orientasi kurikulum. Maksudnya, dalam pesantren terlihat materinya hanya khusus yang disajikan dalam bahasa Arab. Mata pelajarannya meliputi fiqh, aqa’id, nahwu-sharf, dan lain-lain. Sedangkan tasawuf dan semangat keagamaan yang merupakan inti dari kurikulum keagamaan cenderung terabaikan. Tasawuf hanya dipelajari sambil lalu saja, tidak secara sungguh-sungguh. Padahal justru inilah yang lebih berfungsi dalam masyarakat zaman modern. Disisi lain, pengetahuan umum nampaknya masih dilaksanakan secara setengah-setengah, sehingga kemampuan santri biasanya samgat terbatas dan kurang mendapat pengakuan dari masyarakat umum. Maka dari itu, Cak Nur menawarkan kurikulum Pesantren Modern Gontor sebagai model modernisasi pendidikan pesantren.
- Plus Minus Modernisasi Pendidikan Pesantren
Dalam menanggapi gagasan ini, tampak kalangan pesantren terbelah menjadi dua, yaitu pro dan kontra. Adanya kontroversi ini mungkin lebih disebabkan pada perbedaan pendapat mereka tentang bagaimana sikap pesantren dalam menghadapi era globalisasi. Mereka yang pro mengatakan bahwa modernisasi pesantren akan memberi angin segar bagi pesantren. Mereka menganggap bahwa banyak sisi positif yang akan diperoleh dengan modernisasi pendidikan di pesantren. Di antara sisi positif tersebut adalah sebagai berikut:
Sebagai bentuk adaptasi pesantren terhadapperkembangan era globalisasi. Hal ini mutlak harus dilakukan agar pesantren tetap eksis.
Sebagai upaya untuk memperbaiki kelemahan dalam sistem pendidikan pesantren.
Sedangkan bagi kalangan pesantren yang tidak setuju dengan gagasan modernisasi berpendapat bahwa gagasan tersebut banyak sisi negatifnya, diantaranya adalah: Modernitas akan merubah cara pandang lama terhadap dunia dan manusia.
Terlepas dari polemik tersebut, perbedaan pendapat yang terjadi telah mendatangkan sisi positif tersendiri bagi pesantren. Hal itu telah membuktikan hadits Nabi Muhammad Saw ”ikhtilafu ummati rahmatun” yang artinya ”perbedaan pendapat dalam umatku adalah rahmat”. Diantara manfaat dari perbedaan pendapat dalam masalah ini adalah: Melahirkan banyak pesantren yang bervariasi. Banyak pesantren yang memiliki ciri khas masing-masing. Ini memberikan banyak pilihan kepada calon santri dalam menentukan pesantren yang sesuai dengan bakat, minat serta cita-citanya.
Lahirnya santri yang beraneka ragam. Hal ini mengubur paradigma bahwa santri hanya mampu di bidang agama saja. Saat ini, banyak sekali santri yang ahli di bidang pengetahuan umum.
(DARI BERBAGAI SUMBER)
Pesantren salafi, yaitu pesantren yang tetap mempertahankan pelajarannya dengan kitab-kitab klasik, dan tanpa diberikan pengetahuan umum. Model pengajarannya pun sebagaimana yang lazim diterapkan dalam pesantren salaf, yaitu sorogan dan weton. Weton adalah pengajian yang inisiatifnya berasal dari kyai sendiri, baik dalam menentukan tempat, waktu, maupun lebih-lebih kitabnya. Sedangkan sorogan adalah pengajian yang merupakan permintaan dari seseorang atau beberapa orang santri kepada kyainya untuk diajarkan kitab-kitab tertentu. Sedangkan istilah salaf ini bagi kalangan pesantren mengacu kepada pengertian “pesantren tradisional” yang justru sarat dengan pandangan dunia dan praktek islam sebagai warisan sejarah, khususnya dalam bidang syari’ah dan tasawwuf.
- Pengajaran Kitab-kitab Klasik
Sejak tumbuhnya pesantren, pengajaran kitab-kitab klasik diberikan sebagai upaya untuk meneruskan tujuan utama pesantren yaitu mendidik calon-calon ulama yang setia terhadap faham Islam tradisional. Karena itu kitab-kitab Islam klasik merupakan bagian integral dari nilai dan faham pesantren yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Penyebutan kitab-kitab Islam klasik di dunia pesantren lebih populer dengan sebutan “kitab kuning”, tetapi asal usul istilah ini belum diketahui secara pasti. Mungkin penyebutan istilah tersebut guna membatasi dengan tahun karangan atau disebabkan warna kertas dari kitab tersebut berwarna kuning, tetapi argumentasi ini kurang tepat sebab pada saat ini kitab-kitab Islam klasik sudah banyak dicetak dengan kertas putih
Pengajaran kitab-kitab klasik oleh pengasuh pondok (Kyai) atau ustadz biasanya dengan menggunakan sistem sorogan, wetonan, dan bandongan. Adapun kitab-kitab Islam klasik yang diajarkan di pesantren menurut Zamakhsyari Dhofir dapat digolongkan ke dalam 8 kelompok, yaitu: (1) Nahwu (syntax) dan Sharaf (morfologi), (2) Fiqih (hukum), (3) Ushul Fiqh (yurispundensi), (4) Hadits, (5) Tafsir, (6) Tauhid (theologi), (7) Tasawuf dan Etika, (8) Cabang-cabang lain seperti Tarikh (sejarah) dan Balaghah”.
Kitab-kitab klasik adalah kepustakaan dan pegangan para Kyai di pesantren. Keberadaannya tidaklah dapat dipisahkan dengan Kyai di pesantren. Kitab-kitab Islam klasik merupakan modifikasi nilai-nilai ajaran Islam, sedangkan Kyai merupakan personifikasi dari nilai-nilai itu. Di sisi lain keharusan Kyai di samping tumbuh disebabkan kekuatan-kekuatan mistik yang juga karena kemampuannya menguasai kitab-kitab Islam klasik.
Sehubungan dengan hal ini, Moh. Hasyim Munif mengatakan bahwa: “Ajaran-ajaran yang terkandung dalam kitab kuning tetap merupakan pedoman hidup dan kehidupan yang sah dan relevan. Sah artinya ajaran itu diyakini bersumber pada kitab Allah Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah (Al-Hadits), dan relevan artinya ajaran-ajaran itu masih tetap cocok dan berguna kini atau nanti”.
Dengan demikian, pengajaran kitab-kitab Islam klasik merupakan hal utama di pesantren guna mencetak alumnus yang menguasai pengetahuan tentang Islam bahkan diharapkan diantaranya dapat menjadi Kyai.
- Santri
Santri merupakan sebutan bagi para siswa yang belajar mendalami agama di pesantren. Biasanya para santri ini tinggal di pondok atau asrama pesantren yang telah disediakan, namun ada pula santri yang tidak tinggal di tempat yang telah disediakan tersebut yang biasa disebut dengan santri kalong.
Menurut Zamakhsyari Dhofir berpendapat bahwa: “Santri yaitu murid-murid yang tinggal di dalam pesantren untuk mengikuti pelajaran kitab-kitab kuning atau kitab-kitab Islam klasik yang pada umumnya terdiri dari dua kelompok santri yaitu:
· Santri mukim yaitu santri atau murid-murid yang berasal dari jauh yang tinggal atau menetap di lingkungan pesantren.
· Santri kalong yaitu santri yang berasal dari desa-desa sekitar pesantren yang mereka tidak menetap di lingkungan komplek peantren tetapi setelah mengikuti pelajaran mereka pulang.
Dalam menjalani kehidupan di pesantren, pada umumnya mereka mengurus sendiri keperluan sehari-hari dan mendapat fasilitas yang sama antara santri yang satu dengan lainnya. Santri diwajibkan mentaati peraturan yang ditetapkan di dalam pesantren tersebut dan apabila ada pelanggaran akan dikenakan sanksi sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan.
- Kyai
Istilah kyai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa. Kata Kyai mempunyai makna yang agung, keramat, dan dituahkan. Selain gelar Kyai diberikan kepada seorang laki-laki yang lanjut usia, arif, dan dihormati di Jawa. Gelar Kyai juga diberikan untuk benda-benda yang keramat dan dituahkan, seperti keris dan tombak. Namun demikian pengertian paling luas di Indonesia, sebutan Kyai dimaksudkan untuk para pendiri dan pemimpin pesantren, yang sebagai muslim terhormat telah membaktikan hidupnya untuk Allah SWT serta menyebarluaskan dan memperdalam ajaran-ajaran serta pandangan Islam melalui pendidikan.
Kyai berkedudukan sebagai tokoh sentral dalam tata kehidupan pesantren, sekaligus sebagai pemimpin pesantren. Dalam kedudukan ini nilai kepesantrenannya banyak tergantung pada kepribadian Kyai sebagai suri tauladan dan sekaligus pemegang kebijaksanaan mutlak dalam tata nilai pesantren. Dalam hal ini M. Habib Chirzin mengatakan bahwa peran kyai sangat besar sekali fungsinya dalam bidang penanganan iman, bimbingan amaliyah, penyebaran dan pewarisan ilmu, pembinaan akhlak, pendidikan beramal dan memimpin serta menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh santri dan masyarakat. Dan dalam hal pemikiran kyai lebih banyak berupa terbentuknya pola berfikir, sikap, jiwa serta orientasi tertentu untuk memimpin sesuai dengan latar belakang kepribadian kyai.
Peran Kyai di dalam Pondok Pesantren
Dalam budaya pondok pesantren, seorang kyai memiliki berbagai macam peran, termasuk sebagai pengasuh pondok, guru dan pembimbing bagi para santri serta ayah dalam keluarganya sendiri yang juga menetap di pondok. Tugasnya sebagai pengasuh pondok termasuk mencari dana bagi pondok, menghadapi santri baru dan mengerjakan urusan-urusan lembaga pesantren Darur Ridwan. Juga sebagai pengasuh, K.H. Aslam berjuang untuk perkembangan dan kemajuan pondok pesantrennya biar tidak ditinggalkan oleh kemajuan dalam masyarakat umum. Misalnya, pada saat ini, K.H. Aslamsedang bekerja untuk memperkenalkan program baru dalam pondok bagi santri yang tertarik kepada belajar komputer. K.H. Aslam memang mengambil sikap yang lapang dalam menyelenggarakan modernisasi pondok pesantrennya. Pendapat ini pula ditarik oleh Dhofier (1985:174), yang pada umumnya sangat positif mengenai keterampilan para kyai dalam “memperbarui sistem pendidikan pesantren tanpa meninggalkan aspek-aspek positif daripada sistem pendidikan Islam tradisoinal.”
Selain dari perannya sebagai pengasuh pondok, peran kyai yang bisa disebut paling penting adalah sebagai guru dan pembimbing bagi para santri. Menurut salah satu santri, “peran kyai dalam pondok pesantran adalah untuk memberi motivasi kepada santrinya dan membentuk putri-putri untuk menjadi wanita yang sholehah dalam bidang keluarga dan bangsa.”
Hubungan di antara kyai dan para santri merupakan bagian yang penting sekali dalam peran kyai sebagai guru dan pembimbing. Keadaan dan suasana hubungan kyai dan santri memang berbeda di antara satu pondok dengan pondok lain karena hubungan tersebut sangat tergantung pada sikap kyai. Kalau belum mengalami sendiri budaya pondok pesantren, memang gampang untuk menarik kesimpulan bahwa walaupun lingkungan pondok sangat terbatas sehingga penghuni pondok selalu bertemu dan bergaul, oleh karena pesantren membentuk lembaga pendidikan resmi yang membina kehormatan tinggi untuk ustad, ustadah dan kyainya, hubungan di antara para guru tersebut dan muridnya akan sangat formal dan tidak begitu akrab. Namun, kenyataan yang ada di lapangan berbeda.
b. Pondok pesantren modern (khalaf)
Seiring dinamika zaman, banyak pesantren yang sistem pendidikan asalnya salaf berubah total menjadi pesantren modern. Ciri khas pesantren modern adalah prioritas pendidikan pada sistem sekolah formal dan penekanan bahasa Arab modern (lebih spesifik pada speaking/muhawarah). Sistem pengajian kitab kuning, baik pengajian sorogan wetonan maupun madrasah diniyah, ditinggalkan sama sekali. Atau minimal kalau ada, tidak wajib diikuti. Walaupun demikian, secara kultural tetap mempertahankan ke-NU-annya seperti tahlilan, qunut, yasinan, dll.
Pondok pesantren Modern memiliki konotasi yang bermacam-macam. Tidak ada definisi dan kriteria pasti tentang ponpes seperti apa yang memenuhi atau patut disebut dengan pesantren 'modern'. Namun demikian, beberapa unsur yang menjadi ciri khas pondok pesantren modern adalah sebagai berikut:
1. Penekanan pada bahasa Arab percakapan
2. Memakai buku-buku literatur bahasa Arab kontemporer (bukan klasik/kitab kuning)
3. Memiliki sekolah formal di bawah kurikulum Diknas dan/atau Kemenag
4. Tidak lagi memakai sistem pengajian tradisional seperti sorogan, wetonan, dan bandongan.
Kriteria-kriteria di atas belum tentu terpenuhi semua pada sebuah pesantren yang mengklaim modern. Pondok modern Gontor, inventor dari istilah pondok modern, umpamanya, yang ciri modern-nya terletak pada penggunaan bahasa Arab kontemporer (percakapan) secara aktif dan cara berpakaian yang meniru Barat. Tapi, tidak memiliki sekolah formal yang kurikulumnya diakui pemerintah.
Pada era 1970-an, pesantren mengalami perubahan yang sangat signifikan yang tampak dalam beberapa hal. Pertama, peningkatan secara kuantitas terhadap jumlah pesantren. Tercatat di Departemen Agama, bahwa pada tahun 1977, ada 4.195 pesantren dengan jumlah santri sebanyak 667.384 orang. Jumlah tersebut meningkat menjadi 5.661 pesantren dengan 938.397 orang santri pada tahun 1981. kemudian jumlah tersebut menjadi 15.900 pesantren dengan jumlah santri sebanyak 5,9 juta orang pada tahun 1985. Kedua, menyangkut penyelenggaraan pendidikan. Perkembangan bentuk-bentuk pendidikan di pesantren tersebut diklasifikasikan menjadi empat, yaitu:
Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal dengan menerapkan kurikulum nasional, baik yang hanya memiliki sekolah keagamaan maupun yang juga memiliki sekolah umum.
Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan agama dalam bentuk Madrasah Diniyah
Pesantren yang hanya sekedar manjadi tempat pengajian
Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk Madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan umum meski tidak menerapkan kurikulum nasional.
Perkembangan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa beberapa pesantren ada yang tetap berjalan meneruskan segala tradisi yang diwarisinya secara turun temurun, tanpa ada perubahan dan improvisasi yang berarti, kecuali sekedar bertahan. Namun ada juga pesantren yang mencoba mencari jalan sendiri, dengan harapan mendapatkan hasil yang lebih baik dalam waktu singkat. Pesantren semacam ini adalah pesantren yang kurikulumnya berdasarkan pemikiran akan kebutuhan santri dan masyarakat sekitarnya.
Meskipun demikian, semua perubahan itu, sama sekali tidak mencabut pesantren dari akar kulturnya. Secara umum pesantren tetap memiliki fungsi-fungsi sebagai: (1) Lembaga pendidikan yang melakukan transfer ilmu-ilmu pengetahuan agama (tafaqquh fi addin) dan nilai-nilai islam (Islamic values). (2) Lembaga keagamaan yang melakukan kontrol sosial (social control). (3) Lembaga keagamaan yang melakukan rekayasa sosial (Social engineering). Perbedaan-perbedaan tipe pesantren di atas hanya berpengaruh pada bentuk aktualisasi peran-peran ini.
- Model Modernisasi Pendidikan Pesantren
Modernisasi atau inovasi pendidikan pesantren dapat diartikan sebagai upaya untuk memecahkan masalah pendidikan pesantren. Atau dengan kata lain, inovasi pendidikan pesantren adalah suatu ide, barang, metode yang dirasakan atau diamati sebagai hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang , baik berupa hasil penemuan (invention) maupun discovery, yang digunakan untuk mencapai tujuan atau memecahkan masalah pendidikan pesantren.
Miles mencontohkan inovasi (modernisasi) pendidikan adalah sebagai berikut
1. Bidang personalia. Pendidikan yang merupakan bagian dari sistem sosial, tentu menentukan personel sebagai komponen system.
2. Fasilitas fisik.
3. Pengaturan waktu.
Menurut Nur Cholis Majid, yang paling penting untuk direvisi adalah kurikulum pesantren yang biasanya mengalami penyempitan orientasi kurikulum. Maksudnya, dalam pesantren terlihat materinya hanya khusus yang disajikan dalam bahasa Arab. Mata pelajarannya meliputi fiqh, aqa’id, nahwu-sharf, dan lain-lain. Sedangkan tasawuf dan semangat keagamaan yang merupakan inti dari kurikulum keagamaan cenderung terabaikan. Tasawuf hanya dipelajari sambil lalu saja, tidak secara sungguh-sungguh. Padahal justru inilah yang lebih berfungsi dalam masyarakat zaman modern. Disisi lain, pengetahuan umum nampaknya masih dilaksanakan secara setengah-setengah, sehingga kemampuan santri biasanya samgat terbatas dan kurang mendapat pengakuan dari masyarakat umum. Maka dari itu, Cak Nur menawarkan kurikulum Pesantren Modern Gontor sebagai model modernisasi pendidikan pesantren.
- Plus Minus Modernisasi Pendidikan Pesantren
Dalam menanggapi gagasan ini, tampak kalangan pesantren terbelah menjadi dua, yaitu pro dan kontra. Adanya kontroversi ini mungkin lebih disebabkan pada perbedaan pendapat mereka tentang bagaimana sikap pesantren dalam menghadapi era globalisasi. Mereka yang pro mengatakan bahwa modernisasi pesantren akan memberi angin segar bagi pesantren. Mereka menganggap bahwa banyak sisi positif yang akan diperoleh dengan modernisasi pendidikan di pesantren. Di antara sisi positif tersebut adalah sebagai berikut:
Sebagai bentuk adaptasi pesantren terhadapperkembangan era globalisasi. Hal ini mutlak harus dilakukan agar pesantren tetap eksis.
Sebagai upaya untuk memperbaiki kelemahan dalam sistem pendidikan pesantren.
Sedangkan bagi kalangan pesantren yang tidak setuju dengan gagasan modernisasi berpendapat bahwa gagasan tersebut banyak sisi negatifnya, diantaranya adalah: Modernitas akan merubah cara pandang lama terhadap dunia dan manusia.
Terlepas dari polemik tersebut, perbedaan pendapat yang terjadi telah mendatangkan sisi positif tersendiri bagi pesantren. Hal itu telah membuktikan hadits Nabi Muhammad Saw ”ikhtilafu ummati rahmatun” yang artinya ”perbedaan pendapat dalam umatku adalah rahmat”. Diantara manfaat dari perbedaan pendapat dalam masalah ini adalah: Melahirkan banyak pesantren yang bervariasi. Banyak pesantren yang memiliki ciri khas masing-masing. Ini memberikan banyak pilihan kepada calon santri dalam menentukan pesantren yang sesuai dengan bakat, minat serta cita-citanya.
Lahirnya santri yang beraneka ragam. Hal ini mengubur paradigma bahwa santri hanya mampu di bidang agama saja. Saat ini, banyak sekali santri yang ahli di bidang pengetahuan umum.
(DARI BERBAGAI SUMBER)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar